JonkheerMr.Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer (7 Maret 1888 – 16 Agustus 1978) adalah seorang bangsawan dan negarawan Belanda, ia dikenal sebagai gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda.[1] Ia masuk dalam tahanan Jepang setelah menyerahnya angkatan perang seluruh Hindia Belanda tanpa syarat dalam Kapitulasi Kalijati pada 8 atau 9 Maret 1942.[2] Pada awalnya, ia ditahan di Bandung dan Batavia, kemudian dipindahkan ke Manchuria.[3] Pada saat penandatanganan kapitulasi yang dilakukan oleh Jenderal Hein ter Poorten, Tjarda telah meninggalkan ruangan perundingan.[3][4][5] Sebelumnya, pada tanggal 5 Maret 1942, Tjarda telah memisahkan kekuasaan sipil dan militer serta mengalihkan kekuasaan militer kepada Ter Poorten.[5] Ia kemudian tidak menyerahkan kekuasaan sipil atas Hindia Belanda pada Kapitulasi Kalijati.[4] Tindakan tersebut dijadikan dasar bagi Belanda untuk mengalihkan kekuasaan sipil kepada Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook yang telah mengasingkan diri ke Australia. Legitimasi inilah yang digunakan untuk membentuk Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) di pengasingan Australia.
Tjarda adalah gubernur jenderal ke-69 dari koloni Belanda yang terbesar di Asia. Ia menjabat dari tahun 1936 hingga 1942.
Ia berasal dari keluarga bangsawan lama di Groningen dan anak dari Edzard Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer. Nama pribadinya adalah Alidius Warmoldus Lambertus, sedangkan Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer merupakan gelar bangsawan dan wangsanya. Namun, sumber sejarah sering menyebut namanya sebagai sekadar Tjarda.
Kehidupan awal
Tjarda mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Kota Groningen dan melanjutkan pendidikan tinggi bidang ilmu hukum di Universitas Groningen dari 25 September 1906 hingga 11 April 1911.[4] Sejak 1911 hingga 1913, ia bekerja magang pada beberapa firma hukum dan memberikan bantuan profesional kepada Menteri Luar Negeri Belanda saat itu Reneke de Marees van Swinderen. Sepanjang tahun 1913 hingga 1915, ia ditunjuk menjadi deputi Kantor Urusan Luar Negeri Belanda.
Usai tugas domestik yang dijalaninya, ia dikirim pada tugas luar negeri pertama sebagai atase umum pada Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Washington. Pada periode inilah ia kemudian bertemu dengan calon istrinya, Christine Marburg, putri dari Theodore Marburg, duta besar Amerika Serikat untuk Belgia. Mereka kemudian menikah pada bulan November 1915
Pada tahun 1921, Tjarda dihubungi oleh Menteri Luar Negeri Herman Adriaan van Karnebeek untuk mendampingi delegasi Belanda dalam Konferensi Angkatan Laut Washington. Pada titik itulah Tjarda pertama kali bersentuhan dengan urusan kolonial.[6]
Setelah menempuh karier internasional, ia ditunjuk menjadi Komisaris Ratu (gubernur kerajaan) bagi Provinsi Groningen (1925–1933) dan Duta Besar Kerajaan Belanda di Brussel (1933–1936).
Pada 4 Juni 1936, terbit surat keputusan kerajaan yang menunjuk ia menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[4] Ia menumpang kapal Johan van Oldenbarnevelt untuk menuju ke Hindia Belanda setelah berpamitan kepada Ratu Wilhelmina dalam pertemuan pada 24 Agustus 1936.[4] Upacara resmi serah terima jabatan dilaksanakan pada 16 September 1936 di Batavia.[7]
Perang Dunia Kedua
Ketika Belanda menyerah kepada Jerman pada 14 Mei 1940, Tjarda mengumumkan darurat militer di Hindia Belanda. Ia memerintahkan untuk menyita 19 kapal kargo Jerman dan semua warga negara Jerman diasingkan sambil menunggu pembebasan Belanda.[8]
Pada bulan Desember 1941, ketika Jepang memulai operasi di Pasifik, ada 93.000 tentara Belanda dan 5.000 tentara Amerika, Inggris, dan Australia dipersiapkan untuk mempertahankan Hindia Belanda.
Pada tanggal 15 Februari, pengebom Jepang menyerang Batavia (sekarang Jakarta) dan pemerintahan dipindahkan ke Bandung, tepatnya ke Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger.[5] Gubernur Jenderal dan beberapa pejabat penting kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat lain, yaitu Vila Mei Ling.[3] Dari sini, rombongan Tjarda kemudian berangkat menemui Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada 8 Maret 1942. Pada pertemuan pertama, mereka menetapkan tenggat waktu untuk penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda. Tjarda kemudian memerintahkan pasukan Belanda dan Sekutu untuk menghentikan tembakan dalam siaran radio keesokan harinya dan pasukan Sekutu menyerah pada pukul satu siang.
Tjarda, keluarganya, beserta personel militer dan pemerintahan Hindia Belanda lainnya kemudian ditawan. Jepang sempat menawari untuk membiarkan ia tinggal sebagai tahanan rumah dan menerima perlakuan khusus, tetapi ia menolak. Ia dipisahkan dari istrinya, Christine Marburg,[9] dan kedua putrinya, yang ditahan di kamp tawanan perang yang berbeda di Bandung. Tjarda awalnya ditawan di Bandung, sebelum dipindahkan ke Batavia, dan akhirnya ke Manchuria, tepatnya di Hsien (sekarang Liaoyuan, Tiongkok), di mana ia ditahan bersama dengan tahanan terkenal lainnya, seperti Jenderal Jonathan M. Wainwright, sampai dibebaskan pada 16 Agustus 1945.
Kehidupan pascaperang
Usai perang, Tjarda kembali ke Belanda bersama keluarganya. Ia sempat ditawari untuk kembali menjadi gubernur jenderal (atau jabatan pengganti yang setara) tetapi menolak berurusan dengan Indonesia dan proses dekolonisasi Indonesia.[6] Ia mengembalikan mandatnya sebagai gubernur jenderal pada pertengahan Oktober 1945 karena adanya perbedaan pandangan dengan Menteri Daerah Seberang Lautan (sebelumnya disebut Menteri Koloni) Johann Heinrich Adolf Logemann.[6]
Ia kemudian menjadi Duta Besar Belanda untuk Prancis (1945–1948) dan kemudian menjadi Perwakilan Belanda untuk NATO (1950–1956).[1]
^owner, No (2013-11-12). "bwn1". resources.huygens.knaw.nl (dalam bahasa Dutch). Diakses tanggal 2022-06-23.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"Dutch Indies on War Basis," Oakland Tribune, 10 May 1940, p. D-15