Imam Al-Auza’i (88 H (706/707 M) – 157 H (773/774 M)) adalah ulama ahlussunnah dan eponim bagi mazhab fikih Auza'i. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad Al-Auza’i. Al-Auza’i adalah nisbah ke daerah Al-Auza’, salah satu wilayah di Damaskus. Menurut Adz-Dzahabi, dia adalah seorang "Syaikh Islam, 'alim wilayah Syam." Dia bertempat-tinggal di Al-Auza', sebuah kampung kecil di daerah Bab al-Faradis, di dekat Damaskus, kemudian dia pindah ke Beirut, hingga dia meninggal di sana.[1]
Dia dilahirkan pada tahun 88 H dan mengalami masa kanak-kanak dalam keadaan yatim. Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu (rihlah) menuju Yamamah dan Bashrah. Tidak banyak karya pribadinya yang masih bertahan dan dapat ditemukan pada saat ini, meskipun begitu berbagai perkataannya masih dapat ditemui dari nukilan-nukilan yang terdapat pada kitab-kitab karya muridnya dan para ulama sesudahnya. Abu Zur’ah mengatakan tentangnya, “Pekerjaan dia adalah menulis dan membuat risalah. Risalah-risalah dia sangat menyentuh.” Ia begitu dihormati oleh Khalifah Al-Manshur dan pernah ditawari untuk menjadi hakim (qadhi) oleh Khalifah namun Al-Auza'i menolaknya. Di akhir hayatnya, ia berangkat ke Beirut untuk melaksanakan tugas ribath (menjaga daerah perbatasan) dan wafat di sana. Dikatakan warisan yang ia tinggalkan hanya enam dinar yang merupakan sisa dari sedekah yang dia berikan.
Guru dan muridnya
Ia mengambil hadis dari Atha’ bin Abi Rabah, Qasim bin Makhimarah, Syaddad bin Abu Ammar, Rabi’ah bin Yazid, Az-Zuhri, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama dari kalangan tabiin lainnya. Ia juga dikatakan sempat mengambil hadis dari Muhammad bin Sirin. Sedangkan muridnya yang terkenal antara lain: Syu’bah, Ibnul Mubarak, Walid bin Muslim, Al-Haql bin Ziyad, Yahya bin Hamzah, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi, Abu Al-Mughirah, dan sejumlah ulama lainnya.
Pujian
- Al-Kharibi mengatakan, “Al-Auza’i adalah manusia terbaik di zamannya. Dia layak untuk mendapat jabatan khilafah.” Ibnu Mushir mengatakan dia menghidupi malamnya dengan salat dan mengaji Qur'an. Bisyr bin Mundzir mengatakan, “Saya melihat Al-Auza’i seperti orang buta, karena khusyuknya.”[2][3]
- Abdul Malik bin Muhammad mengatakan, "Tak sekalipun Al-Auza'i berbicara selekas Salat Subuh, hingga dia berdzikir kepada Allah. Kalau perkataannya cuma satu, dia akan menjawabnya."[3]
Referensi
Bacaan lanjutan