Syekh Haji Adam B.B. atau Syekh Adam Balai-Balai (31 Agustus 1889 – 15 Juli 1953)[2][3] adalah salah seorang Ulama Minangkabau terkemuka yang tercatat sampai pertengahan abad ke-20. Adam B.B. yang sebelumnya adalah seorang pendekar dan parewa gadang (jagoan besar) juga dikenal sebagai ulama dan guru yang menginginkan lulusan surau yang ideal, yaitu kombinasi ulama, pandeka (pendekar) dan jiwa seni yang mandiri dan terampil, seperti sosok pribadinya. Ia merupakan pendiri Surau Pasar Baru (SPB) di Padang Panjang yang kemudian hari menjadi Madrasah Irsyadin Naas (MIN).[4]
Riwayat
Kehidupan
Syekh Adam B.B. yang lahir pada 31 Agustus 1889 itu adalah putra dari Sami'un Datuk Bagindo, seorang datuk/penghulu pucuk yang disegani dan pemutus kata pada tiap perundingan ninik mamak atau pemangku adat Minangkabau di wilayah Padang Panjang.
Ia punya perhatian yang sangat besar pada persilatan, sehingga selama kurang lebih sepuluh tahun sampai menjelang usia 25 tahun, ia menimba ilmu silat dari puluhan guru dan sasaran (padepokan) silat dari bermacam aliran. Dengan kemampuan beladiri silat yang sedemikian tinggi, Adam muda yang bertemperamen tinggi, berwatak keras dan pantang kelangkahan itu sanggup mengalahkan seekor harimau dalam suatu perkelahian di tepi hutan sebuah bukit di wilayah Agam. Sejak kejadian itu Adam yang bertubuh tinggi besar dan kekar ditakuti dan disegani oleh orang-orang di lingkungannya, dan ia tampil sebagai parewa gadang (jagoan besar). Namun disamping itu, Adam juga punya kegemaran lain, yaitu main sepak bola dan bermusik.
Setelah merasa matang sebagai seorang laki-laki dan berbekal ilmu tinggi persilatan, Adam mencari peruntungan dengan merantau dekat ke wilayah pertambangan batu bara di Sawahlunto. Ia pun langsung diterima bekerja di sana dengan menjadi mandor yang mengawasi para pekerja tambang yang disebut orang rantai, julukan bagi buruh tambang yang ditangkap kembali setelah melarikan diri.
Setelah beberapa bulan bekerja, Adam pulang ke Padang Panjang dengan membawa banyak uang untuk diserahkan pada ibu yang dicintainya. Jangankan diterima dengan bahagia dan senang, uang pemberian Adam itu justru dicampakkan oleh ibunya sambil berkata: "Bukan ini yang kuharapkan darimu!". Kejadian itu mengguncang batin Adam muda, keperkasaan dan uang banyak yang didapat atas penderitaan dan pahitnya hidup masyarakat pribumi yang dijajah bangsa asing bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Sebuah kenyataan yang memaksanya mengartikan kembali perjalanan hidupnya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran baru pada diri Adam, masa kecil di surau dengan mengaji dan belajar silat agar menjadi orang pandai dan berilmu adalah untuk melawan kemungkaran, membela kebenaran dan orang lemah yang tertindas. Ini merupakan kesadaran kolektif masyarakat di mana Adam hidup dan dibesarkan. Kesadaran itulah yang membuat hardikan ibunya menjadi cambuk yang menyebabkan Adam luluh.
Pendidikan
Adam merupakan anak yang pintar, ia berhasil menamatkan sekolah Gouvernement dengan nilai yang baik. Namun ia tidak melanjutkan pendidikan resminya ke jenjang yang lebih tinggi, padahal kesempatan itu terbuka lebar baginya karena ia merupakan anak dari seorang tokoh adat yang terpandang di Padang Panjang. Saran ayahnya agar ia bersekolah di Sekolah Raja di Bukittinnggi ditolaknya dengan alasan ia tak suka memakai pentalon. Ia kemudian malah mendalami ilmu silat yang memang sudah diminatinya sejak masa kecil.
Setelah menjadi pendekar dan urang bagak (jagoan) lalu bekerja menjadi mandor di tambang batu bara dan mempunyai uang banyak, tetapi uang itu ditolak oleh ibunya, Adam menjadi bimbang. Ia sempat ingin kembali bekerja di Sawahlunto, tetapi di perjalanan, hardikan ibunya ketika mencampakkan uang pemberiannya selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ketika sedang beristirahat di tepian danau Singkarak ia mendapat inspirasi dari seorang anak kecil yang menyatakan bahwa bersekolah itu sangat berguna, dengan bergegas ia pun kembali ke Padang Panjang.
Adam membulatkan tekad untuk kembali belajar mengaji di Surau Jembatan Besi, sebuah surau yang merupakan basis ulama Minangkabau pada awal abad ke-20. Ia diterima di surau tersebut dan menjadi murid Syekh Abdul Karim Amrullah. Setelah itu ia berguru lagi pada Syekh Daud Rasjidi yang akrab dipanggil Inyiak Daud di Balingka, Agam, yang baru saja pulang dari Mekkah dan membuka surau di kampungnya.
Karena musibah galodo (banjir bandang) surau Inyiak Daud di Balingka porak-poranda, sehingga semua muridnya pulang ke kampung halaman masing-masing, tetapi Adam tetap setia menemani gurunya. Pada tahun 1914 Adam diantar Inyiak Daud kembali ke Padang Panjang untuk belajar ke Surau Muhammad Jamil Jaho yang akrab dipanggil Inyiak Jaho. Tidak sampai setahun belajar di sana, Adam mulai merasa cukup mantap untuk membuka surau sendiri. Pada tahun 1916 Adam mulai merintis sebuah halaqah sederhana di Kampung Pasar Baru, Padang Panjang.
Referensi
Pranala luar