Abul Kalam Muhiyuddin Ahmed Azad (bahasa Bengali: আবুল কালাম মুহিয়ুদ্দিন আহমেদ আজাদ, pronunciationⓘ; bahasa Urdu: ابو الکلام محی الدین احمد آزادAbul Kalam Azad; 11 November 1888–22 Februari 1958) adalah seorang sarjana India dan pemimpin politik senior dari gerakan kemerdekaan India. Setelah India merdeka, dia menjadi menteri pendidikan pertama di pemerintahan India. Pada 1992, dia dianugerahi penghargaan Bharat Ratna sebagai salah satu warga negara tertinggi di India.[1]
Ketika masih muda, Azad mengkombinasikan puisi dalam bahasa Urdu dengan risalah tentang agama dan filsafat. Dia mengembangkan popularitasnya melalui karya-karyanya sebagai seorang jurnalis, mempublikasikan karya-karya yang mengkritik Britania Raj dan mengemban penyebab-penyebab nasionalisme India. Azad menjadi pemimpin Gerakan Khilafat, pada saat ia bertemu langsung dengan pemimpin India Mahatma Gandhi.
Pada 1923, di usia 35 tahun, ia menjadi orang termuda yang menjabat sebagai PresidenKongres Nasional India. Azad adalah salah satu pengurus utama Dharasana Satyagraha pada 1931, dan menjadikannya salah satu pemimpin nasional paling berpengaruh pada waktu itu, yang dikenal memimpin penyebab-penyebab kesatuan Hindu-Muslim serta mengemban sekularisme dan sosialisme.[2]Hari Pendidikan Nasional (India) yang diperingati secara tahunan di India memperingati peringatan hari kelahiran Maulana Abul Kalam Azad, menteri pendidikan pertama India ketika sudah merdeka, yang menjabat dari 15 Agustus 1947 sampai 2 Februari 1958. Hari Pendidikan Nasional India dirayakan pada 11 November setiap tahun di India.
Latar belakang
Azad lahir pada 11 November 1888 di Mekkah, Arab Saudi. Nama sebenarnya adalah Abul Kalam Ghulam Muhiyuddin yang menjadi dikenal sebagai Maulana Azad. Maulana Azad lahir pada hari yang sama dengan Acharya Kripalani, yang juga merupakan seorang pejuang kebebasan berpengaruh dan menggantikan mantannya sebagai Presiden Kongres Nasional India di sesi Meerut pada 1946.[3]
Azad dibesarkan di lingkungan yang konservatif. Ayahnya seorang sufi yang tidak bisa menerima perubahan, apalagi menggunakan pendekatan yang baru dalam membicarakan sesuatu. Dia dididik untuk menjalankan nilai-nilai lama. Berikut kehidupan kanak-kanaknya, seperti diungkapkan oleh Douglas.[4]
Saya hidup di sebuah keluarga yang suci dan tinggi martabatnya di mata masyarakat, terbukti mereka menghargai dan menghormati kami layaknya memuja berhala. Ketika saya masih kecil, beratus-ratus orang (laki-laki) menghampiri saya dan kemudian mencium tangan dan kaki saya sebagaimana menghormati anak raja. Ketika saya beranjak dewasa, setiap orang yang saya temui selalu membungkuk, sebagai tanda hormat. Orang-orang tua begitu ekstrim dalam menghormati saya, seolah-olah saya adalah berhala yang mereka sembah. Setiap kata yang saya ucapkan, tidak menjadi masalah apakah benar atau salah, mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan hormat, sambil menundukkan kepala, dan mereka selalu mengatakan, “Benar! Benar! Dan, sungguh benar![4]
Azad memerlukan usaha keras untuk melepaskan diri dari lingkungan yang terbelakang itu. Perjuangan intelektualnya sesungguhnya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak. Namun, dia tidak terlalu lama berada di bawah pengaruh teologi tradisional itu. Dia mulai gemar membaca buku dan kemudian terpengaruh dengan tulisan-tulisan dari Syed Ahmed Khan atau lebih dikenal dengan Sir Syed. Baginya, ini merupakan sebuah pengalaman yang membebaskan.[5] Dia mengidolakan Sir Syed dan menyebutnya sebagai mujahid e-mutlaq (ahli tafsir yang kreatif). Dia kemudian berambisi untuk menulis dengan gaya seperti tulisan-tulisan Sir Syed.[6]
Teologi Sir Syed sendiri dipengaruhi oleh para filsuf muslim yang berlatarbelakang pemikiran Yunani Kuno dan Muktazilah. Para teolog Muktazilah dikenal berusaha mengembangkan teologi rasional yang dipengaruhi oleh pemikiran dan filsafat Yunani. Kelompok tersebut merupakan golongan awal yang berusaha untuk merumuskan teologi kreatif sesuai dengan kondisi yang sedang berlangsung. Kufah, Bagdad, dan Busra adalah kota-kota pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah yang saat itu arus pemikirannya bercampur dengan Yunani, Iran, dan India. Hal inilah yang memunculkan tantangan baru, khususnya di antara golongan Muktazilah, untuk menciptakan sebuah teologi kreatif yang tidak dapat berkembang secara luas di dunia Islam.[7]
Azad kemudian pindah ke Kolkata yang lantas menjadi ibukota bagi penjajah Inggris di India. Dia menyaksikan semua kemajuan modern yang diperkenalkan Inggris, seperti kereta api, layanan pos, layanan telegram, dan sebagainya. Dia semakin terpengaruh oleh ilmu pengetahuan dan konsep-konsep modern, bahkan berencana mempelajari ilmu pengetahuan modern dan Islam sekaligus. Ilmu pengetahuan modern ini begitu memengaruhinya, sehingga pada tataran tertentu dia telah menjadi seorang ateis, meskipun dari luarnya tampak masih menjalankan ibadah ritual Islam. Suatu saat dia pernah berkata, “Sekarang saya telah menjadi seorang ateis yang sempurna. Saya telah beralih ke paham materialisme dan rasionalisme. Saya tidak lagi mengindahkan agama serta menganggapnya sama seperti hasil pemikiran manusia". Hal ini berlangsung dari tahun 1902–1910, yakni dari umur 14–20 tahun.[8]
Dia kembali "menjadi Islam" pada 1920, ketika membuat sebuah tulisan yang dikirimkan kepada seorang penyair bernama Sarmad. Peristiwa ini merupakan titik yang menentukan dalam perjalanan kehidupannya, yang awalnya kental dengan sufisme dan kemudian beralih ke rasionalisme dan materialisme. Paham tersebut masih tampak dalam pemikiran-pemikirannya selanjutnya, walaupun dia telah keluar dari tahap rasionalisme dan materialisme. Jika dalam sufisme pandangan humanitariannya sangat dalam, rasionalisme telah menghapuskannya. Tulisannya yang ditujukan kepada Sarmad sebagai berikut.[9]
Dalam pencariannya, dia (Sarmad) menghapuskan perbedaan antara kuil dan masjid. Kalau dia merendahkan kepalanya di hadapan sufisme Islam, dia juga meyakini asketismeHindu. Pengalaman mistis manakah yang bertentangan dengan prinsip ini? Jika kita tegas dalam membedakan antara ateisme dan Islam (dan pada kenyataannya memang demikian), berarti kita telah membedakan antara gelap dan cahaya. Di atas semua itu, nyala lilinlah yang harus dicari oleh kegelapan. Jika kegelapan itu menjadi tergila-gila dengan lilin suci dari kota Makkah ini, merupakan kemalangan yang besar apabila pencerahan ini sampai hilang.[10]
Kekasih itu dihancurkan oleh Islam dan kekafiran.
Kegelapan tidak dapat membedakan antara cahaya masjid dan kuil.[10]
Lebih lanjut, Azad mengatakan bahwa cinta merupakan langkah pertama menuju kebenaran dan hakikat. Lebih dari itu, cinta adalah pintu yang harus dimasuki manusia sebelum dirinya menjadi "manusia". Hatinya tidak akan terluka dan matanya tidak akan basah oleh air mata. Kata-kata ini membawakan pesan yang universal, cinta kepada seluruh umat manusia, bukan keyakinan suatu kelompok. Tulisan-tulisannya tentang teologi harus dilihat dalam pengertian ini dan dalam konteks perjuangan merebut kemerdekaan yang membutuhkan persatuan di antara orang-orang Hindu dan Islam, untuk mengusir musuh bersama, yakni bangsa Inggris.[10]
Dia lantas menulis sebuah buku berjudul Tarjuman Al-Qur’an pada 1930–1936. Tahun-tahun tersebut merupakan masa-masa kritis dalam sejarah perjuangan kemerdekaan India. Adanya gerakan tabligh dan shuddhi telah meningkatkan perselisihan antara Hindu dengan Islam. Jilid pertama Tarjuman Al-Qur’an diterbitkan pada 1930, yang berarti Azad menulisnya pada abad ke-20 setelah berdirinya gerakan khalifat dan terjadinya Insiden Chauri Chaura pada 1922. Saat itu, hubungan antara Hindu dan Islam semakin memburuk, bahkan gerakan shuddhi dan tabligh juga bersitegang.[11]
Azad menulis bukunya itu untuk merespon kondisi yang sedang berlangsung. Pemahaman seseorang terhadap Al-Qur’an memang dipengaruhi oleh keadaan dirinya. Tidak mengherankan jika saat itu sebagian besar tema dari buku jilid pertamanya tersebut adalah wahdat-e-adyan, yakni kesatuan agama-agama. Adapun jilid keduanya bertema kesamaan antara laki-laki dan perempuan, meskipun ini bukan tema utama sebagaimana wahdat-e-adyan.[12]
Tema kesatuan agama yang dibahas oleh Azad itu bukan yang pertama kali muncul dalam dunia Islam. Pada abad ke-19 (1703–1762), Syekh Waliullah Dehlawi juga telah merumuskan konsep kesatuan agama yang mengacu kepada Surah Al-Mu’minun ayat ke-53. Ayat itu berbunyi sebagai berikut.[12]
Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, bertakwalah kepada-Ku. Mereka kemudian terpecah-belah menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada dalam sisi mereka (masing-masing)
––––– Al-Qur'an Surah Al-Mu’minun ayat ke-52–53
Beberapa ahli tafsir juga membicarakan tema ini. Salah satu di antaranya adalah Qazi Sanaullah Usmani Panipati yang menulis buku Tafsir-e-Mazhari. Tatkala menjelaskan Surah Al-An’am ayat ke-130, dia mengatakan bahwa ajaran pokok agama Hindu mirip dengan ajaran pokok agama Islam, tetapi jika ditemukan perbedaan di antara keduanya, hal itu disebabkan oleh setan. Perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh Azad dan tokoh-tokoh lain bukan pada pendekatannya, tetapi dalam penekanannya. Azad menempatkan kesatuan agama sebagai tema utama dalam buku jilid pertamanya. Buku itu fokus kepada tema tersebut dan membahasnya secara maksimal. Hal ini tentu saja merupakan cara kreatif untuk merespon kondisi yang di India waktu itu. Rakyat negara-negara baru yang mempoklamasikan diri setelah Perang Dunia II memeluk berbagai macam agama – oleh karenanya, tema wahdat-e-adyan sangat relevan dengan negara-negara tersebut.[13]
Pada pidatonya bulan Desember 1923, Presiden Kongres Nasional India, secara khusus menyinggung perlunya persatuan antara umat Hindu dan Islam. Dia mengatakan sebagai berikut.[13]
Hal ini (persatuan Hindu dan Islam) adalah landasan pertama bangunan (negara) kita, yang tanpanya, bukan hanya kemerdekaan India, tetapi juga segala sesuatu yang menjadi syarat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan kemajuan dari sebuah negara, sekadar menjadi impian dan omong kosong. Bukan hanya kita tidak akan dapat meraih kemerdekaan, tanpa persatuan Hindu dan Islam, kita juga tidak dapat merumuskan prinsip-prinsip kemanusiaan lain yang akan melengkapinya.[14]
Jika hari ini malaikat turun dari langit dan mengatakan bahwa Swaraj dapat dicapai dari puncak Quth Minar dalam waktu 24 jam, dan jika hari ini juga India akan kehilangan persatuan Hindu dan Islam, saya akan memilih persatuan Hindu dan Islam, karena jika gagal mendapatkan Swaraj hanya bangsa India yang akan kehilangan, tetapi jika kita kehilangan persatuan Hindu dan Islam, seluruh manusia yang akan rugi.[14]
Berdasarkan pidato kenegaraan itu dapat diketahui bahwa persatuan antara Hindu dan Islam bukan hanya merupakan kebutuhan praktis, tetapi juga merupakan masalah prinsip. Presiden Kongres tidak akan berkompromi dengan masalah itu, meskipun harus membayar dengan kemerdekaan sebuah negara. Insani wahdat (persatuan seluruh manusia) jauh lebih penting baginya daripada kemerdekaan bangsa India yang tidak dapat diabaikan. Azad di sinilah sangat memperhatikan wahdat-e-adyan bukan hanya untuk kepentingan kontekstual, yakni sebagai sebuah prinsip yang secara inheren melekat di dalam teologi, tetapi karena Al-Qur’an juga mengajarkannya. Ketika para ahli tafsir mendiskusikannya, dia membuatnya sebagai sebuah prinsip mendasar dalam teologi Islam. Inilah alasan dia membahasnya dalam hampir satu jilid dari empat jilid bukunya itu.[a][15]
Perlu diketahui bahwa konteks tidak dapat dikesampingkan, sebagaimana juga ajaran pokok dalam teologi. Kenyataan menunjukkan bahwa seseorang lebih memilih teologi yang paling relevan dengan kebutuhan kontekstualnya di samping ajaran pokok yang ada dalam teologi (primer atau sekunder). Namun demikian, tidak berarti bahwa tingkat signifikasi ajaran pokok yang ada dalam teologi lantas berkurang. Tema Al-Qur’an yang ditekankan oleh Ruhollah Khomeini dan pengikutnya di Iran ketika melakukan perlawanan terhadap Syah dan Amerika Serikat adalah pertentangan antara kaum tertindas dan penindas – antara mustad’ifun dan mustakbirun.[16] Hal ini disebutkan di dalam Surah Al-Qasah ayat ke-5, yaitu Tuhan berjanji kepada orang-orang yang tertindas untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin dan pewaris dunia. Masalah ini sangat pokok bagi teolog-teolog Iran waktu itu yang dipimpin oleh Khomeini.[13]
Dalam kasus ini, terdapat kebutuhan kontekstual yang tidak mengesampingkan ajaran pokok dalam teologi. Mengedepankan ajaran pokok yang sesuai dengan konteksnya tidak dapat disebut dengan oportunisme. Sebaliknya, hal ini merupakan penerapan kreatif dari ajaran pokok yang ada dalam teologi. Khomeini dan pengikut-pengikutnya (dan juga Mujahidin-e-Khalq-e-Iran yang meyakini sosialisme Islam) menekankan pentingnya hak-hak kaum tertindas dalam kehidupan mereka, sedangkan Azad dan teolog-teolog yang sejalan dengannya, yang diwakili oleh Jami’at al-Ulama, menekankan pentingnya persatuan antara Hindu dan Islam dan prinsip wahdat-e-adyan.[b][17]
Teologi
Tidak ada seorang muslim yang meragukan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci, walaupun mereka berbeda-beda dalam memahaminya. Umat Islam mempunyai penafsiran Al-Qur’an yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Adanya beragam tafasir,[c] sebanyak jumlah para ahli tafsir, tidak perlu dikhawatirkan. Oleh karena itu, tidak keliru kalau ada pendapat bahwa kata-kata di dalam Al-Qur’an itu suci, tetapi tafsirnya tidak.[18] Hal inilah yang menimbulkan persoalan mengenai tafsir bi al-rai (tafsir Al-Qur’an yang bersifat individual). Tafsir ini telah dikecam banyak pihak karena dikhawatirkan seseorang akan menafsirkan dengan sekehendak hatinya dan tidak berdasar kepada maksud Tuhan yang sebenarnya. Maulana Abul Kalam Azad sendiri turut mengecam tafsir tersebut.[d]
Namun demikian, sangat sulit untuk menolak tafsir, karena memang demikianlah kodrat manusia; setiap orang berusaha memahami makna suci Al-Qur’an. Tafsir bi al-rai kadang perlu "dibatasi" agar penafsirannya tidak terlalu melenceng dari batas-batas itu. Sejalan dengan pernyataan itu, setiap orang juga harus menyadari akan keterbatasannya sebagai manusia. Dalam pengertian ini, pendapat individu akan selalu menjadi bagian integrasi dari tafsir dan pendapat individu inilah yang nantinya menimbulkan banyak sekali perbedaan penafsiran – mereka harus terus belajar dan bersikap arif. Demikian halnya dengan tafsir Azad sendiri yang berjudul Tarjuman Al-Qur’an, yang menjadi salah satu sumbangan pemikirannya. Buku ini mengandung pendapat, visi, dan pengetahuan yang dimilikinya.[e]
Kreativitas teologis memiliki kesamaan dan perbedaan dengan "kreativitas sastra". Kesamaannya adalah proses kreatifnya, sedangkan perbedaannya berhadapan dengan ayat-ayat suci yang responsif terhadap kehidupan manusia yang berubah-ubah. Kehidupan manusia itu tidak statis, tetapi selalu berubah. Tuhan tidak pernah berhenti menciptakan sesuatu yang baru. Dia sendiri berfirman dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman ayat ke-29 sebagai berikut.[19]
Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap saat Dia berada dalam kesibukan
––––– Al-Qur'an Surah Ar-Rahman ayat ke-29
Tuhan selalu memanifestasikan diri-Nya dalam setiap keagungan yang baru dan dengan cara yang tidak terduga. Dengan kata lain, kreativitas-Nya tidak statis. Muhammad Iqbal, seorang penyiar dan pemikir Islam, mengatakan bahwa manusia adalah co-creator with God (pencipta yang membantu Tuhan). Inilah status tertinggi yang dapat diraih oleh manusia. Teologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari Tuhan dan ayat-ayat-Nya, serta makna hakiki yang ada di balik ayat-ayat tersebut. Dikarenakan Tuhan itu kreatif, teologi juga berhadapan dengan kehendak Yang Maha Suci, yakni cara-Nya yang selalu baru dalam mewujudkan keagungan dan ciptaan-Nya. Tidaklah mungkin bagi manusia menjadi stagnan dan tidak kreatif dalam mencari kebenaran-Nya. Seorang pencari kebenaran Tuhan akan menjumpai kehidupan yang berubah-ubah dan cara Tuhan yang selalu baru dalam mewujudkan keagungan-Nya. Teologi tidak bisa berakar kepada konteks kehidupan manusia dan mentransendenkannya. Kondisi tertentu dan transendensi yang membuat teologi menjadi kreatif inilah yang menimbulkan ketegangan-ketegangan.[20]
Teologi tidak dapat menghindar dari kontekstualitas dan normativitas. Apabila teologi tidak bersifat konsektual, tidak akan berguna bagi masyarakat pada saat dan tempat tertentu; jika tidak normatif, bukan hanya akan mempertahankan status quo, tetapi juga tidak akan memberikan inspirasi bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya. Teologi yang kreatif tidak lain adalah tanggapan manusia atas kehidupannya yang senantiasa berubah karena diciptakan oleh Tuhan. Tanggapan itu agar lebih bermakna harus bersifat dinamis. Inilah pentingnya teologi yang kreatif.[20]
Rabb al-'alamin
Bagi Azad, Surah Al-Fatihah, surat pembuka dalam Al-Qur’an, merupakan surat yang paling pokok. Semua konsep dasar di dalam Al-Qur’an diturunkan dari surat ini. Selanjutnya, dia mengupas surat yang terdiri dari tujuh ayat ini dalam bukunya jilid pertama. Setiap ayatnya sarat dengan makna dan merefleksikan keseluruhan filsafat Al-Qur’an.[21]
Sejalan dengan filsafat wahdat-e-adyan, dia menekankan pentingnya konsep Rabb al-‘alamin. Dia mengatakan sebagai berikut.[21]
Mengakui Tuhan sebagai Rabb al-‘alamin atau Rabb semesta alam adalah mengakui-Nya, bukan hanya sebagai pencipta segala sesuatu di alam semesta ini, tetapi juga pemelihara dan penjaganya. Kalimat "Dia telah menyediakan makanan dan menumbuhkembangkan segala sesuatu" difirmankan oleh Tuhan, yang disertai dengan suatu rencana yang sangat mengagumkan, yakni bahwa semua makhluk hidup dilengkapi dengan sifat alamiah untuk mempertahankan diri. Pada saat yang bersamaan, mereka juga dilengkapi dengan kemampuan untuk menghadapi setiap kondisi dan kebutuhan yang senantiasa berubah.[22]
Azad mengemukakan dua hal penting yang menjadi contoh dari pemikiran dan teologi yang kreatif, yaitu:[23]
Tuhan adalah Rabb al-‘alamin, yakni yang memelihara dan menjaga seluruh alam semesta, termasuk yang bernyawa dan tidak. Konsep ini bukan hanya menekankan kesatuan seluruh umat manusia, tetapi juga kesatuan seluruh alam semesta. Selain itu, konsep tersebut juga dekat dengan wahdat al-wujud-nya Ibnu Arabi – kehidupan sufi Azad tentu saja dipengaruhi oleh pemikiran teologisnya.
Dia juga menekankan bahwa di dalam rububiyat juga termasuk memanuhi tuntutan kondisi dan kebutuhan yang selalu berubah. Hal ini merupakan konsep pemerataan teologi yang dikaitkan dengan kondisi dan kebutuhan manusia yang senantiasa berubah. Sifat rububiyat itu sendiri milik Tuhan yang Rabb al-‘alamin. Jika setiap partikel di alam semesta ini ditujukan untuk memberikan respon terhadap kondisi yang terus berubah, teologi juga demikian.[24]
Dalam penekanannya terhadap "perubahan" dia mengatakan sebagai berikut.[24]
Jika manusia mengamati dirinya sendiri, dia akan melihat bahwa hidupnya, setiap saat, memperlihatkan aktivitas yang didorong oleh sifat rububiyat-Nya. Di bumi ini terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman, dan juga di dalam dirimu sendiri, apakah mereka tidak memperhatikannya?[22]
Azad memasukkan "perubahan" dalam rububiyat, yang tidak lain "aktivitas manusia" yang didorong oleh rububiyat Tuhan. Inilah ciri konsep rububiyat yang dinamis dan universal darinya. Tidak ada teologi, kecuali dia yang tidak terlibat dan aktif dalam sebuah gerakan. Azad adalah seorang aktivis dan teologinya juga didominasi dengan aktivismenya, yakni perlunya gerakan pembebasan. Dalam hal ini, dia memiliki pendahulu, seperti Maulana Qasim Nanotvi, yang juga menekankan pentingnya persatuan Hindu dan Islam, menyatakan bahwa Hindu Vedas mungkin juga merupakan kitab suci, serta Rama maupun Kresna mungkin juga nabi-nabi Tuhan. Namun, dalam menggambarkan latar belakangnya, diperlukan perubahan dan aktivitas manusia yang didorong oleh rububiyat Tuhan.[25]
^Lihat Tarjuman Al-Qur'an Volume I dalam Surah Al-Fatihah (Engineer 1999, hlm. 198).
^Konsep wahdat-e-adyan adalah sumbangan Azad dalam kaitannya dengan masalah persatuan Hindu dan Islam, para ulama sependapat dengan konsep tersebut (Engineer 1999, hlm. 199).
^Tafsir (bentuk pluralnya adalah tafasir), yakni ilmu menafsirkan Al-Qur'an (Engineer 1999, hlm. 198).
^Ian Hunderson Douglas berpendapat bahwa Azad mencela tafsir bi al-rai dan menganggapnya sebagai sebuah kelemahan dari Tarjuman Al-Qur'an (Douglas 1988, hlm. 218).
^Artikel ini membahas mengenai konsep teologi Azad dalam bukunya berjudul Tarjuman Al-Qur'an dan terjemahan bahasa Inggris edisi pertama oleh Syed Abdul Latif yang diterbitkan oleh Asia Publishing House (Azad 1988, hlm. 1–1.342).
Ayoub, Mahmoud (1984). The Qur'an and Its Interpreters (Volume 1). New York: State University of New York Press. ISBN978-079-1495-46-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Azad, Maulana Abul Kalam (1988). Tarjuman Al-Qur'an: Al-Fatiha to Al-Muminun. New Delhi: Kitab Bhavan. ISBN978-817-1511-17-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Engineer, Asghar Ali (1999). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN978-979-9289-01-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Garaudy, Roger, dkk (2008). Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran. Yogyakarta: Citra Griya Aksara Hikmah. ISBN978-979-2607-15-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ram, Malik (1981). Khutbat-e-Azad. New Delhi: Sahitya Akademi. ISBN978-969-7394-19-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sarbini (2005). Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media. ISBN979-979-3921-23-4.