K.H. Abdul Manaf Mukhayyar (29 Juni 1922 – 21 September 2005)adalah wakif yaitu orang yang telah
mewakafkan tanahnya untuk lokasi pembangunan Darunnajah. Ia juga
membelanjakan hartanya untuk menggaji guru, membelanjakan uangnya
untuk membangun madrasah, dan menutup biaya operasional pada saat awal
mula pendirian pesantren ini. Abdul Manaf juga penggagas ide pendirian
lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam dan mencetak
kader-kader ulama.
Di awal tahun 2011 Yayasan Darunnajah sudah memiliki 14 Pesantren di
seluruh Indonesia dengan ribuan santri yang menuntut ilmu agama Islam
di dalamnya.
Masa Kecil
K.H. Abdul Manaf Mukhayyar lahir di kampung Kebon Kelapa, Palmerah, Jakarta,
pada Kamis 29 Juni 1922 dari pasangan Haji Mukhayyar dan Hj. Hamidah,
Ia adalah anak ke-4 dari 11 bersaudara.
Membayangkan Jakarta tahun 1900-an tentu sangat berbeda dengan saat
ini. Tidak ada Monas, jembatan Semanggi, gedung-gedung bertingkat
apalagi mal dan kemacetan. Jakarta saat itu adalah ibu kota Hindia
Belanda yang luasnya tak sampai separuh dari wilayah kota saat ini.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta saat itu sudah memiliki beragam
fasilitas umum. Kereta api, mobil angkutan, sekolah, pasar, tangsi
tentara dan kantor-kantor perwakilan dagang. Pusat kota ada di
Weltevreden, Glodok, Kota, Jatinegara, Senen, Tanjung Priok dan Tanah
Abang. Kawasan Kebayoran Lama, Ciputat, Kebon Jeruk, dan sebagainya
adalah kawasan pinggiran yang asri.
Sejak kecil, H. Mukhayyar (ayah K.H. Abdul Manaf Mukhayyar) sudah
menanamkan kebiasaan beribadah bagi anak-anaknya. Termasuk kepada
Abdul Manaf. Saat bulan puasa, anak-anaknya diajak ke masjid untuk
salat tarawih. Ayah H. Mukhayyar, H. Bukhori, juga ikut membimbing
cucu-cucunya.
Atmosfer politik di Batavia yang sedang berada dalam masa pergerakan
dan semangat semangat Pan Islam yang sedang tumbuh di kalangan umat
Islam saat itu, mendorong munculnya lembaga-lembaga pendidikan
gubernemen (dikelola pemerintah kolonial) maupun lembaga pendidikan
swasta, yang dua-duanya bisa diakses oleh orang pribumi. Dalam hal
ini, Abdul Manaf mendapat berkah dari situasi yang tidak didapati dari
masa hidup ayah atau kakeknya. Oleh H. Mukhayyar, ia dikirim untuk
belajar di sekolah Belanda, dan sore harinya belajar mengaji ke
madrasah.
Sesungguhnya, tidak semua orang bisa mengirimkan anaknya belajar di
sekolah Belanda saat itu. Umumnya hanya orang-orang yang secara
ekonomi mampu atau memiliki kedudukan di pemerintahan saja yang bisa
melakukannya. Abdul Manaf kecil termasuk beruntung karena H. Mukhayyar
termasuk orang kaya. Ia memasukkan Abdul Manaf ke Volksschool
(sekolah dasar) selama tiga tahun di Pengembangan Palmerah pada usia
10 tahun. Dari Volksschool, Abdul Manaf melanjutkan ke
Vervolegschool (sekolah lanjutan) selama dua tahun.
Selain belajar di sekolah, sore hari selepas pulang dari
Vervolegschool, Abdul Manaf muda mengikuti pengajian di rumah Haji
Sidik di Bendungan Hilir. Kondisi jalan saat itu yang becek, belum ada
jembatan permanen, dan kanan-kirinya ditumbuhi semak-belukar berduri,
ditempuh oleh Abdul Manaf dari Palmerah menuju Bendungan Hilir dengan
berjalan kaki.
Dengan kekayaan yang dimilikinya, H. Mukhayyar tidak memanjakan
anak-anaknya. Anak-anak, termasuk Abdul Manaf, justru didorong untuk
bekerja dan tidak bermalas-malasan. Untuk mendapatkan uang, mereka
harus bekerja. Anak-anak diberi contoh cara memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya sekaligus berlatih mandiri. Siang atau sore hari,
anak-anak H. Mukhayyar disuruh ngreret (membuat tali dari pelepah
pisang yang kering). Tali-tali itu kemudian disuruh dijual ke pedagang
tembakau. Uang hasil penjualannya, dipercayakan kepada anak-anaknya
untuk digunakan. H. Mukhayyar juga menceritakan kepada anak-anaknya
pengalaman pernah menjadi kuli pembangunan rel kereta api Palmerah.
Hal itu sebagai bentuk contoh dan semangat yang diberikan H. Mukhayyar
agar anak-anaknya tak malu bekerja kasar sekalipun asalkan halal.
Didikan orang tuanya itu memang membuat Abdul Manaf terbiasa bekerja
keras, ulet, sederhana, mandiri, dan rajin menabung. Selain mengaji
dan bersekolah, waktu luang Abdul Manaf diisi dengan membantu orang
tuanya berjualan daun pisang, mencangkul, membuat tali dari pelepah
pisang, dan berjualan kayu kering. Dengan cara ini, Abdul Manaf bisa
membiayai pendidikannya sejak kecil.
Belajar Di Jamiat Khair
Setamat dari Vervolegschool, Abdul Manaf meminta izin kepada orang
tuanya untuk belajar di Jamiat Khair yang terletak di daerah Karet,
Tanah Abang. Ini adalah lembaga pendidikan madrasah yang sangat maju
pada masanya. Murid-murid di madrasah ini diajar bahasa Arab dan
guru-gurunya kebanyakan dari Timur Tengah. Pada saat itu, Jamiatul
Khair termasuk sekolah terpandang karena para muridnya umumnya dari
kalangan orang-orang Arab yang kaya. Abdul Manaf adalah perkecualian.
Meskipun ia bukan keturunan Arab, tetapi ia diterima dan belajar di
sekolah yang di kemudian hari menjadi inspirasinya untuk mendirikan
Pesantren Modern Darunnajah.
Madrasah Jamiat Khair mengajarkan pelajaran umum dan pelajaran agama
sekaligus. Selain bahasa Arab sebagai utama, bahasa Inggris dan Melayu
juga digunakan sebagai bahasa pengantar. Guru-guru pengajarnya
didatangkan dari Arab walaupun ada juga guru dari orang boemipoetra
seperti H. Muhammad Mansyur yang dipercaya mengajar karena mampu
berbahasa Arab dan ahli dalam bidang agama.
Sebagai sekolah modern, Jamiatul Khair tidak menerapkan sistem pondok
sehingga murid-muridnya tidak diinapkan. Abdul Manaf pun pulang-pergi
setiap hari dengan berjalan kaki Palmerah-Tanah Abang. Sampai-sampai
meskipun hujan lebat, Abdul Manaf tidak pernah absen untuk berangkat
sekolah. Berganti baju di ruang sekolah adalah hal biasa baginya.
Guru-gurunya pun maklum dan tidak pernah marah karena Abdul Manaf
dikenal murid yang rajin dan tekun dalam belajar.
Abdul Manaf masuk ke Jamiatul Khair pada 1938. Beberapa gurunya saat
itu adalah Ustadz Dziya' Syahab yang juga nadzir (semacam direktur
atau kepala sekolah), Ustadz Abdullah Arfan, Ustadz Hadi Jawa, dan
Ustadz Ahfas dari Kebon Jeruk, Ustadz Haji Zakaria dari Lampung,
Ustadz Hasyim dan Ustadz Sholeh dari Kebon Sirih.
Di Jamiatul Khair, Abdul Manaf mula-mula masuk di tingkat Tahdiriah
(persiapan). Kemudian ia menempuh tingkat Ibtidaiyah (6 tahun) dan
menyelesaikan studi pada 1942. Ia berhasil menguasai bahasa Arab yang
memang ditekankan sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam di
sekolah ini.
Abdul Manaf juga sempat belajar bahasa Belanda pada tahun 1942 untuk
menambah pengetahuannya, hanya saja hal itu hanya berlangsung selama 2
bulan karena penggunaan bahasa Belanda dilarang akibat datangnya
penjajah Jepang di tanah air. Bahasa Belanda tidak diajarkan di Jamiat
Khair. Sebagai gantinya, bahasa Inggris diajarkan sebagai pelajaran
wajib.
Sebenarnya setelah Ibtidaiyah, masih ada tingkat Tsanawiyah yang
ditempuh selama 3 tahun. Lulusan Tsanawiyah Jamiat Khair bisa
melanjutkan ke Mekkah atau ke Mesir. Namun Abdul Manaf tak
mengambilnya. Datangnya penjajahan Jepang dan kesulitan ekonomi
agaknya menjadi alasannya kala itu.
Pada 1939, saat menempuh studi di Jamiat Khair inilah, muncul ide
dalam diri Abdul Manaf untuk mendirikan madrasah dengan sistem modern.
Ide ini diwujudkan dengan mendirikan Madrasah Islamiyah pada 1942
dengan sistem pengajaran modern mencontoh Jamiatul Khair pada 1942.
Saat itu, Abdul Manaf belum mengenal pola pondok pesantren.
Selain madrasah untuk mengajarkan agama, Abdul Manaf juga memiliki
niat mendirikan sekolah gratis untuk orang fakir. Niat ini didorong
oleh pengalaman pribadi saat merasakan beratnya membayar iuran bulanan
saat belajar di Jamiatul Khair. Bahkan Abdul Manaf pun sempat tidak
sanggup membayar iuran bulanan. Tetapi menjelang kelulusannya hutang
iuran itu dibebaskan. Sejak saat itulah timbul keinginan untuk membuka
sekolah gratis bila menjadi orang kaya kelak.
Ketidaksanggupan Abdul Manaf membayar iuran belajar bulanan karena
orang tua Abdul Manaf, H. Mukhayyar meskipun kaya tetapi tidak
memberikan uang untuk anaknya agar mereka belajar mandiri. Abdul Manaf
berdagang untuk membayar biaya sekolahnya.
Niat mulia mendirikan sekolah juga tak lepas dari pesan guru-gurunya
di Jamiatul Khair yang selalu diingatnya. Pesan itu antara lain agar
Abdul Manaf menjadi orang jujur, tidak mengesampingkan pendidikan,
selalu salat berjemaah dan tidak melupakan kaum fakir miskin. Konon
saat masih duduk di bangku Jamiatul Khair, Abdul Manaf pernah menulis
kata-kata dalam bahasa Arab pada salah satu kitab dengan bunyi idza
sirtu ghaniyyan aftah madrasah lil fuqara' majjanan, Artinya: Kalau
saya jadi orang kaya, saya akan membuka sekolah gratis untuk anak-anak
yang tidak mampu.
Mendirikan Madrasah Islamiyah
Sebelum Madrasah Islamiyah didirikan, Abdul Manaf sebenarnya sudah
merintis pengajaran agama di rumah orang tuanya. Yang pertama-tama
dilakukan adalah mengajar adik-adiknya yang berjumlah 7 orang di
paviliun rumah orang tuanya di Kebon Kelapa, Palmerah. Mereka diajari
cara melakukan salat, dan membaca Al Quran, dan lain-lain. Hal itu
dilakukan cukup lama sampai berbulan-bulan. Lama-lama anak-anak
peserta pengajian ini makin banyak dan tidak terbatas kepada
adik-adiknya. Keponakan dan kerabatnya ikut diajar mengaji di rumah
tersebut.
H. Mukhayyar yang melihat inisiatif anaknya itu kemudian menyuruh
Abdul Manaf membuat pengajian di rumah dengan mengundang para
anak-anak tetangga dan kerabat. Kegiatan pengajian dan pengajaran
kepada anak-anak itu berjalan 3 tahun (1939-1942).
Pada tahun 1942, H. Mukhayyar kemudian mendirikan Madrasah Islamiyah
yang berlokasi di samping rumahnya di depan Stasiun Palmerah. Madrasah
yang dipimpinnya itu sangat sederhana. Bangunannya berlantai tanah,
atapnya dari daun kelapa, dindingnya pagar dan letaknya di tengah
kampung. Madrasah ini ditangani sendiri oleh Abdul Manaf. Selama zaman
Jepang, madrasah tetap bisa dipertahankan hingga tahun 1945 ketika
Indonesia merdeka. Memang selama pendudukan Jepang, Abdul Manaf cukup
beruntung. Ia masih bisa meneruskan belajar di Jamiatul Khair
sementara kawan-kawan seusianya ada yang direkrut menjadi anggota
Keibodan, atau mengikuti latihan kemiliteran yang digelar Jepang.
Saat revolusi fisik muncul pasca kemerdekaan dan timbul gejolak
perlawanan rakyat terhadap pasukan Sekutu dan Belanda yang mencoba
menjajah Indonesia lagi, kegiatan madrasah vakum. Kondisi keamanan
saat itu tidak memungkinkan madrasah untuk melaksanakan kegiatan.
Lagipula rakyat memilih mengungsi atau bergabung dengan laskar-laskar
perlawanan. Pada 1946, Abdul Manaf yang baru dikarunia seorang anak
bernama Suniyati, buah perkawinannya dengan Tsurraya, mengungsi ke
rumah kerabatnya. Ia berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di
kampung Sukrenda, Ciomas, Serang, Banten selama lebih kurang 3 tahun.
Di kampung inilah lahir anak keduanya bernama Saifuddin Arief.
Usai agresi militer Belanda ke-2, kira-kira tahun 1949 Abdul Manaf
kembali ke Palmerah dan segera berinisiatif membangun kembali madrasah
Islamiyah yang pernah ditutup tiga tahun sebelumnya. Warga dan tokoh
di Kebon Kelapa dilibatkan dalam pembangunan kembali madrasah itu
dengan harapan madrasah bisa dibangun lebih luas. Tempatnya masih
tetap di Kebon Kelapa Palmerah.
Usaha pembangunan kembali itu berjalan lancar. Tahun itu juga,
madrasah Islamiyah sudah menerima murid. Lokasinya juga lebih
strategis karena terletak di pinggir jalan Petunduhan (sebelah utara
SMU 24 saat ini), dekat dengan rel kereta api dan luas tanahnya 500
m2. Kelak, pada tahun 1960, tanah itu dibeli oleh Pemerintah karena
lahannya dijadikan lokasi proyek Asian Games IV.
Ada kisah mengharukan dibalik pembelian tanah ini. Sebelum membeli
tanah Abdul Manaf meminta izin kepada istrinya Tsurayya. Manaf
mengambil cincin berlian istrinya dan meminta cincin itu untuk biaya
pembelian tanah. Rupanya sang istri tidak keberatan bahkan mendukung
rencananya. Cincin itu pun dijual dan uang hasil penjualannya dipakai
membeli tanah di Petunduhan. ”Saya ingat sekali cincin berliannya
saya ambil, saya minta dengan ikhlas, diserahkan, saya jual, saya beli
itu tanah.” Begitu penuturan dia.
Bersama beberapa pemuka-pemuka masyarakat setempat, Abdul Manaf
membangun madrasah dengan ukuran 11 x 25 meter. Kondisinya lebih baik
daripada madrasah sebelumnya yang dibangun di atas tanah mililk orang
tua. Madrasah Islamiyah di Petunduhan ini berlantai ubin, menggunakan
atap genteng, dan dindingnya memakai tembok.
Untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar, dia merekrut guru-guru dari
luar Palmerah seperti dari Depok, Padang, dan lain-lain. Ada juga guru
perempuan dan tenaga tata usaha. Abdul Manaf juga membagi waktunya
untuk berdagang dan mendirikan Perusahaan Bangunan Makmur (PB Makmur)
yang lokasinya sama-sama di Jalan Petunduhan.
Menurut K.H. Muhammad Aminullah, Madrasah Islamiyah semula dikelola
oleh Abdul Manaf dan kakak iparnya Mukhtar Kholil (suami dari Marfuah,
kakak Abdul Manaf). Bangunan madrasah terletak di antara rumah kedua
kakak beradik itu.
Madrasah Islamiyah di Petunduhan saat itu sudah menyelenggarakan
kegiatan secara teratur. Setiap akhir tahun diadakan haflah, pidato,
dan diskusi-diskusi. Selain untuk kegiatan pendidikan, Abdul Manaf
juga kerap mengumpulkan pemuda-pemuda di Palmerah untuk bermusyawarah
di madrasahnya.
Pertemuan dan diskusi yang dilakukan Abdul Manaf dan pemuda-pemuda
Palmerah saat itu, pada akhirnya mengerucut ke ide membentuk yayasan
yang menaungi cita-cita pembentukan pondok pesantren. Yayasan ini
kemudian bernama YKMI dan diketuai Mohammad Kosim. Abdul Manaf
bertindak sebagai bendahara dan Kamaruzzaman sebagai sekretarisnya.
Berjuang Membela Republik Indonesia
Majalah Pesan pada tahun 1989, memuat profil Abdul Manaf dalam salah
satu artikelnya. Disebukan bahwa pada masa revolusi fisik, Abdul Manaf
dibantu ayahnya membuka dapur umum untuk keperluan para pejuang. Dia
juga turut memanggul senjata di sekitar wilayah Rawabelong, Kebayoran
Lama dan Palmerah.
Membangun Masjid Al Falah
Semasa mengasuh Madrasah Islamiyah di Petunduhan Palmerah, Abdul Manaf
juga aktif mendirikan majelis taklim, mengajar agama Islam di SR
(Sekolah Rakyat) Palmerah, dan aktif sebagai fungsionaris Masyumi di
Palmerah. Semangat untuk berdakwah lewat dunia pendidikan sangat
tinggi. Hal itu diakui oleh teman-teman, saudara, dan murid-muridnya.
Pada tahun 1950-1952, Abdul Manaf bersama warga dan tokoh masyarakat
setempat mendirikan majelis taklim Masjid Al Falah (sekarang di
Departemen Kehutanan, kompleks Manggala Wana Bhakti). Majelis ini
diasuh oleh Abdul Manaf bersama Ustadz Abdullah Arfan, gurunya di
Jamiatul Khair. Terhitung sejak pertama kali dibentuk pada tahun 1950,
majelis taklim yang dibentuk Abdul Manaf dan Abdullah Arfan bertahan
selama 35 tahun.
Menjadi Pedagang
Bakat dagang Abdul Manaf tidak bisa dimungkiri tertular dari jiwa
usaha ayahnya H. Mukhayyar. Sejak muda, H. Mukhayyar sudah dikenal
sebagai orang kaya di kampungnya. H. Mukhayyar sebenarnya berprofesi
utama sebagai petani. Namun ia pernah juga berniaga dengan berdagang
hasil bumi seperti buah-buahan, sayuran, dan berjualan hewan ternak
yaitu sapi.
Salah satu sifat H. Mukhayyar adalah ulet, hemat dan suka bekerja
keras. Sifat ini di kemudian hari menurun kepada Abdul Manaf.
H. Mukhayyar juga gemar menabung. Ketika masih kecil dan kerap
membantu orang tuanya, H. Bukhori, ia sering mendapat uang saku yang
sebagian ditabung di lubang pohon kelapa yang tumbuh di depan
rumahnya. Kegiatan menabung ini dilakukan dari kecil hingga menikah.
Dengan uang tabungan itulah, H. Mukhayyar bisa membeli tanah.
Tanah-tanah itu kemudian ditanami sayuran dan buah-buahan.
Selain dari bertani, H. Mukhayyar juga berdagang sapi. Usahanya maju.
Bahkan sapi-sapinya sampai dikirim ke Pakistan. Dia berdagang sapi
selama 7 tahun dari tahun 1936.
Mengikuti jejak ayahnya, Abdul Manaf juga mulai berdagang sejak kecil.
Ia membantu ayahnya berjualan daun pisang di stasiun Palmerah. Abdul
Manaf juga membuat tali dari pelepah pisang untuk dijual ke pedagang
tembakau. Uang hasil dagangannya ini dipakai untuk membiayai
sekolahnya di Jamiat Khair.
Mendirikan PB Makmur
Perusahaan Bangunan (PB) Makmur bermula dari sebuah kios kecil.
Tanahnya dari lahan hutan yang kemudian dijadikan pangkalan andong
(delman). Letatnya strategis karena berada di tikungan rel kereta.
PB Makmur dibangun oleh Abdul Manaf dari nol. Dia sendiri yang
merintis, memasang telepon hingga menjadi besar setelah mendapat
kontrak untuk menjadi agen semen Gresik di Jakarta. Saat itu, tahun
1950-an, perusahaan pribumi yang bisa memasang telepon masih sangat
jarang. Abdul Manaf mengendalikan perusahaan ini bersama abangnya,
Abdulrahim dan Abdul Karim.
Pada mulanya, PB Makmur berjualan dedak (bekatul untuk makanan kuda),
buntil, kombongan (campuran dedak, rumput, dan air). Kalau ada gerobak
datang, diberinya air dan dedak. Dari jasa ini, ia mendapat uang 5
sen.
Komoditas yang mulai dijual adalah bambu. Seiring berjalannya waktu,
usaha PB Makmur makin besar. Terbukti dari keuntungan berjualan bambu
saja, Abdul Manaf bisa membeli tanah di Sukabumi Ilir. Belakangan
terlihat Abdul Manaf memang memiliki bakat mengelola perusahaan. Ia
bisa membesarkan usahanya dan menambah komoditas yang dijual yaitu
papan, pasir, batu kali, hingga akhirnya semen. PB Makmur juga membuka
pabrik bis beton dan ubin. Letaknya yang strategis karena dekat dengan
stasiun Palmerah, membuat usaha material milik Abdul Manaf mendapat
kepercayaan menjadi agen semen Gresik.
Setelah usahanya besar, Abdul Manaf tidak lupa dengan niatnya untuk
mendirikan lembaga pendidikan agama dan membangun sekolah untuk orang
miskin. Dia juga tidak melupakan jasa Haji Muhammad Kemped dan ayahnya
Haji Mukhayyar yang disebutnya sebagai penyumbang terbesar PB Makmur.
Seberapa besar keuntungan PB Makmur yang disumbangkan oleh Abdul Manaf
untuk pembangunan lembaga pendidikan? Hasyim Munif, mantan karyawan PB
Makmur yang mengurus administrasi menyebutkan, setiap semen yang
dijual, Abdul Manaf menyisihkan Rp 1 untuk dipakai sebagai dana
sosial. Saat itu (tahun 1960 an), harga satu sak semen adalah 14
rupiah 7 ketip 5 sen. Sebagai perbandingan, saat membeli tanah di
Ulujami (kini lokasi Pondok Pesantren Darunnajah) pada tahun 1960 H.
Abdul Manaf membayar harga Rp 5 per meter persegi tanah. Dengan kata
lain, keuntungan lima zak semen bisa membeli satu meter persegi tanah
di Ulujami waktu itu.
Tahun 1964, bersamaan dengan penggusuran kawasan Senayan untuk
kompleks DPR/MPR, usaha dagang PB Makmur pun ikut tergusur. Kantor PB
Makmur akhirnya dipindah ke Sukabumi Ilir, Kebayoran Lama. Bidang
usahanya tidak berubah. PB Makmur masih memproduksi ubin, buis beton
dan menjual bahan material lainnya.
Mengenal Model Pendidikan Pesantren
Di tengah kesibukannya menjalankan bisnis, Abdul Manaf tak melepas
perhatian terhadap dunia pendidikan. Selain mengajar di Madrasah
Islamiyah, ia terus berkomunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang
bergiat dalam pendidikan Islam.
Lewat pondok modern Darunnajah, Abdul Manaf menumpahkan ide dan
cita-cita perjuangannya untuk mencetak kader ulama dan melakukan
taffaquh fiddin.
Perkenalan Abdul Manaf dengan dunia pesantren bermula ketika mengenal
Haji Latif, seorang pemborong jalan dari Kuningan, Karet Tengsin. Haji
Latif mendengar Gontor dari bosnya Haji Rais yang kepala DPU Jakarta
Raya. Kedua orang tersebut sudah mengirim anaknya untuk belajar ke
Gontor. Kepada Abdul Manaf, Haji Latif menyarankan agar menyekolahkan
anaknya ke Gontor.
Di Gontor itulah, Abdul Manaf merasakan kecocokan dengan sistem
pendidikan yang pernah dialaminya di Jamiatul Khair. Ia juga melihat
anak-anak yang dikirim ke Gontor menunjukkan kualitas yang bagus.
Sehingga semua anak laki-lakinya pun dikirim ke Gontor untuk belajar.
Walau demikian, Abdul Manaf tidak mengakui ide pendirian pondok
pesantren datang dari dirinya. Ia justru menduga rencana mendirikan
pesantren justru datang dari Mahrus Amin dan kawan-kawannya yang
mengelola Raudhatul Athfal sejak tahun 1961 di Petukangan. Raudhatul
Athfal ini kemudian berubah nama menjadi Balai Pendidikan Darunnajah
dan menyelenggarakan pendidikan taman kanak-kanak dan madrasah
ibtidaiyah. Sedangkan ide pendirian pesantren diyakini atas saran Kiai
Imam Zarkasyi, pengasuh Pondok Modern Gontor waktu itu. Hal ini
dikuatkan oleh peran alumni-alumni Gontor seperti Mahrus Amin, Hafidz
Dasuki, Hasyim Munif, bahkan Nurcholis Madjid dan Abdullah Syukri
Zarkasyi (kini pengasuh Pondok Modern Gontor) pada masa awal
perintisan Darunnajah. Mereka selain mengajar di Darunnajah Petukangan
juga pulang-pergi ke Ulujami yang saat itu masih berupa kebun yang
ditanami pohon jinjing.
Membeli Tanah Di Ulujami
Madrasah Islamiyah di Petunduhan, Palmerah, pada tahun 1960 dibongkar
karena lokasinya terkena proyek perluasan kompleks Asian Games IV.
Tanah yang menjadi lokasi berdirinya madrasah itu diganti rugi oleh
pemerintah sekitar Rp 90.000, tidak sampai Rp 100.000,00. Sedangkan
bangunannya dibongkar.
Agar cita-citanya tak terhenti, Abdul Manaf mengajak bermusyawarah
kawan-kawannya di PB Makmur. Disepakati uang ganti rugi itu dibelikan
tanah, Abdul Manaf membeli tanah di kampung Peninggaran, Ulujami. Saat
itu wilayah Ulujami secara administratif termasuk wilayah Kecamatan
Ciledug, Kabupaten Tangerang.
Dengan harga Rp 5 per meter persegi, uang ganti rugi tersebut tidak
mencukupi untuk membeli tanah seluas 5 hektare seperti yang di tempati
Pesantren Darunnajah saat ini. Uang Rp 90.000 tersebut hanya cukup
untuk membeli tanah kurang dari separuh yang diinginkan. Kekurangannya
kemudian ditutupi dari uang PB Makmur dan sumbangan berbagai pihak.
Mendirikan YKMI
Sesudah membeli tanah di Ulujami, Abdul Manaf mendirikan Yayasan
Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI).
Pengurus YKMI diketuai H. Muhammad Kosim dengan bendahara H. Abdul
Manaf dan sekretarisnya Kamaruzzaman. Meski sebagai penggagas ide,
posisi Abdul Manaf sebagai bendahara barangkali didasari oleh
statusnya sebagai penyandang dana lewat PB Makmur dan kesibukannya
sebagai pebisnis yang tidak memungkinkannya mengurusi aktivitas
yayasan secara penuh.
Walau sudah terbentuk YKMI, rupanya yayasan ini tidak secara implisit
hendak mendirikan pesantren. Tujuan YKMI adalah mengayomi kegiatan
pendidikan untuk menyejahterakan masyarakat Islam di Tanah Air. Sangat
terang, tujuan yayasan sangat luas cakupannya dan tidak sekadar
menyelenggarakan pendidikan pesantren semata.
Pembentukan YKMI disambut positif tokoh-tokoh masyarakat Petukangan
dan Ulujami. Dukungan antara lain dari H. Abdillah Amin, H. Satiri
(Ulujami), H Sidik Makmun, H. Sidik, H. Satiri (Petukangan), Abbas dan
lain-lain. Bahkan H. Abdillah Amin menyerahkan lembaga pendidikan
Raudhatul Athfal di Petukangan untuk bergabung dengan YKMI. Raudhatul
Athfal lantas dipimpin oleh Mahrus Amin, alumni KMI Gontor yang mulai
menetap di Jakarta sejak 2 Februari 1961.
Raudhatul Athfal yang menyelenggarakan pendidikan setingkat
ibtidaiyah, dirasa tidak cocok dengan namanya yang berarti taman
kanak-kanak, padahal dibuka juga madrasah ibtidaiyah. Akhirnya pada 1
Agustus 1961, Raudhatul Athfal ini berubah nama menjadi Balai
Pendidikan Darunnajah.
Membangun Gedung Madrasah Di Ulujami
Seiring berjalannya waktu, Abdul Manaf makin mantap untuk memilih
model pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang akan dibangun
di Ulujami. Selain berkonsultasi dengan rekan-rekannya, Abdul Manaf
juga meminta masukan kepada gurunya di Jamiatul Khair, Ustadz Abdullah
Arfan. Setelah membeli tanah di Ulujami, mantan gurunya itu ditemui.
”Apa tujuan ente membuat sekolah di sana?” tanya ustadz Abdullah
Arfan. ”Saya membuat madrasah itu dengan tujuan untuk madrasah
Islamiyah ke pendidikan agama Islam, bukan untuk umum, tidak.
Khususnya terutama untuk taffaquh fiddin,” jawab Abdul Manaf.
Tak lupa saat menunaikan ibadah haji yang pertama kali pada 1962,
Abdul Manaf meminta nasihat pada ulama yang ditemui di sana. Di
Mekkah, ia bertemu dengan Kiai Abdullah Syafii dan ditanya maksud
kedatangannya. ”Saudara ada apa kemari, ada maksud apa?”. Ditanya
demikian, Abdul Manaf lantas menerangkan cita-cita dan usaha yang
sudah dilakukannya dalam membangun lembaga pendidikan Islam. Saat itu
Kiai Abdullah Syafii memberi saran sebagai berikut:
”Sebelum kerja membuat pesantren harus ziarah dulu ke Mekah ini, ke
Ka'bah ini!,” ujar Kiai Abdullah Syafii menegaskan. Ia lantas
menyambung. ”Insya Allah tujuan kita kalau baik, dikabulkan!,”
ujar Abdul Manaf menirukan pesan sang kiai.
Sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1962, Abdul Manaf membangun sebuah
madrasah di tanah yang dibelinya di Ulujami. Madrasah itu berukuran
30x11 meter dan terdiri dari 4 lokal. Bangunan itu semi permanen,
berdinding batu dan berlantai ubin. Ternyata walaupun sudah berdiri,
madrasah itu tidak berhasil menarik minat murid untuk belajar. Lokasi
yang jauh, sulitnya transportasi dan kurangnya simpati masyarakat
adalah hal-hal yang menjadi sebab madrasah itu belum mampu menarik
minat.
Di sisi lain, suasana politik menjelang peristiwa G30S/PKI sempat
merepotkan pengurus YKMI mewujudkan rencananya. Pada 1963, sekitar 30
orang menyerobot dan mencangkul tanah di Ulujami, namun akhirnya
berhasil diatasi.
Tiadanya minat murid untuk belajar di madrasah yang dibangun di
Ulujami bertolak belakang kondisinya dengan madrasah Darunnajah di
Petukangan. Balai Pendidikan Darunnajah di Petukangan berkembang pesat
dan terkenal.
Tiga kali berturut-turut siswa dari Darunnajah Petukangan meraih juara
dalam MTQ yang diselenggarakan Al Azhar, sehingga tidak boleh
mengikuti lagi musabaqah berikutnya. Demikian pula drumband dan
orkes Darunnajah juga sangat dikenal saat itu. Bahkan pada tahun 1964,
di Petukangan juga didirikan Tsanawiyah dan TK Darunnajah.
Madrasah di Petukangan lebih maju karena secara ekonomi masyarakat
Petukangan lebih makmur saat itu dibanding Ulujami. Lokasinya yang
dekat dengan Ciledug dan berada di pinggir jalan raya.
Sebetulnya usaha mendatangkan santri ke Ulujami sudah dicoba pada
tahun 1963-1965. Antara tahun 1963-1964, ada 9 santri mukim di
Petukangan. Mereka adalah murid Ibtidaiyah Darunnajah dan beberapa
murid SMP dari luar Darunnajah setiap sore hingga malam hari dibawa ke
Ulujami untuk belajar mengaji. Dibanding jumlah murid di Petukangan
yang sekitar 200 orang, jumlah santri di Ulujami memang sangat
sedikit.
Pada 1969 Mahrus Amin meminta izin memindahkan gedung Madrasah
Ibtidaiyah yang sudah dibangun di Ulujami pada 1962 ke Petukangan
untuk kegiatan belajar Madrasah Tsanawiyah Petukangan, Abdul Manaf tak
menolaknya. Saat itu, Abdul Manaf sangat merindukan pesantren
Darunnajah terwujud. Mahrus juga sudah terlihat memiliki kemampuan
mengelola madrasah di Petukangan dan bercita-cita membangun pondok
pesantren. Tak heran bila, Mahrus yang sudah menjadi anak menantunya
(menikah dengan putri pertama H. Abdul Manaf, Suniyati, pada 30
September 1965) menjadi kader kepercayaan karena bisa menerjemahkan
visi Abdul Manaf. Hal lain yang barangkali mendorongnya menyetujui
usulan itu adalah kondisi gedung madrasah di Ulujami yang karena tidak
digunakan, menjadi kurang terawat. Bahkan pernah suatu ketika gedung
madrasah ini roboh.
Sejak pertengahan 1960-an itu, Mahrus memang mendapat peran sentral di
Darunnajah. Kepengurusan YKMI yang tidak aktif diisi oleh Mahrus dan
kawan-kawan dengan tindakan nyata. Salah satunya dengan usaha
deklarasi pendirian pesantren di Petukangan pada peringatan Sewindu
Darunnah 30 Maret 1969 yang disaksikan oleh Dr. Mohammad Natsir,
Nurcholis Madjid, dan tokoh-tokoh masyarakat. Ketika itu Abdul Manaf
menjabat sebagai ketua umum YKMI.
Pranala luar