Abdul Hamid Lubis dilahirkan pada tahun 1865 M, pada masa kecilnya bernama Ma’as, ayahnya yang bernama Jasuara Lubis adalah seorang petani dan peternak kambing.[3]
Abdul Hamid Lubis sering membantu orangtuanya sambil belajar mengaji Alquran dan mempelajari "sifat dua puluh" Tuhan. Konon di daerah Mandailing yang berdekatan dengan Sumatera Barat, menyebabkan banyak warganya pergi ke Rao, Kumpulan dan Bonjol untuk menuntut ilmu agama Islam.[3] Bahkan banyak pula pendakwah dan guru agama Islam datang dari daerah tersebut. Masa remaja Abdul Hamid dihabiskan berguru dengan mereka.[3] Beliau tertarik dengan cerita dan riwayat guru-guru besar terkenal seperti Imam Bonjol, Tuanku Rao dan para pendekar agama lainnya, justru semuanya adalah mereka yang belajar agama Islam bertahun-tahun di Makkah.[3] Abdul Hamid Lubis muda sangat tertarik mempelajari agama Islam dari sumber asli yaitu ke tanah suci Makkah.[3] Memang waktu itu telah ada Ulama Tasawuf Tharikat Naqsyabandi, Syekh Sulaiman Al-Kholity di Huta pungkut, namun Beliau tidak tertarik.[3] Beliau berkeingin keras mendalami Islam, terutama ilmu Fiqih, ke Makkah, konon pula waktu itu tuan guru yang ahli di bidang itu di Tapanuli Selatan belum ada.[3]
Merantau ke Makkah dan pernikahannya
Abdul Hamid Lubis diperkenankan orangtuanya menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 1885 M, saat itulah Beliau bertekad sekaligus belajar di sana. Dengan susah payah orang tua Abdul Hamid mempersiapkan biaya perjalanan yang cukup minim dengan kapal laut dari Belawan.[3] Keberuntungan menanti Abdul Hamid di kota suci, setelah menunaikan ibadah haji, beliau diberi tumpangan tempat tinggal sekaligus mendapat bantuan biaya pendidikan belasan tahun selama di Makkah dari seorang ahli pengobatan yang dikenal berasal dari Palembang dengan nama Tabib Abdullah, Tabib Abdullah sekaligus adalah menjadi orang tua asuh bagi Abdul Hamid, dan hingga Abdul Hamid dinikahkan oleh Tabib Abdulah dengan seorang cucunya yang bernama Khadijah, saat itu ayah dari Khadijah tinggal telah meniggal dunia, dan tinggal di rumah Tabib Abdullah.[3]
Prof. Usman Pelly, Ph.D, dalam tulisannya[3] menuliskan bahwa nantinya setelah di Hutapungkut isteri Beliau ini dipanggil dengan "Omak Makkah", dan Syekh Abdul Hamid memiliki dua istri lagi setelah di Hutapungkut, istri dan anak keturunannya sebagaimana dituiskan oleh Prof. Usman Pelly, Ph.D adalah sebagai berikut:
Omak Makkah ; salah seorang putranya bernama Harus Lubis, adalah Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, alumni Padang Islamic College;
Mariah Huta Tolang; anak Beliau bernama Amir Hasan Lubis, mantan Kepala Perwakilan P&K Sumatera Utara;
Nursiah Lubis; ibu dari Prof Dr Harmen Nasution dan Nurminah Lubis (mertua Prof Usman Pelly, Ph.D).
Guru-gurunya
Putra Hutapungkut ini menimba ilmu agama Islam dari guru-guru yang sangat dikenal masyarakat Nusantara, seperti:
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Imam dan Khatib Masjidil Haram Makkah);[4] Syekh Abdul Hamid belajar pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sekitar 10 (sepuluh) tahun.[5]
Kembali ke tanah air
Setelah sepuluh tahun belajar di kota suci Mekkah, Syekh Abdul Hamid kemudian kembali ke tanah air pada tahun 1895 dengan sambutan hangat dan meriah dari sanak saudara dikampung halamannya sebab mendengar seorang Abdul Hamid telah pulang dari berguru kepada Ulama Makkah yang namanya masyhur di Nusantara.[3]
Dakwah, ketokohan & pengaruh
Syekh Abdul Hamid membuka pengajian, dan berkeliling dari kampung ke kampung berdakwah dengan berkuda.[6] Syekh Abdul Hamid seperti juga para sahabatnya seperguruan sangat keras menantang aliran Tharikat Naqsyabandy, yang ketika itu sangat ramai di Hutapungkut dipimpin Syekh Sulaiman Al-Khodily, walaupun secara pribadi mereka di kampung itu berteman baik.[3] Ketegasan Beliau menerangkan dan menegakkan hukum Islam serta memberantas segala adat istiadat jahiliah yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme mau tidak mau menimbulkan pergesekkan dengan pemuka adat serta raja-raja Mandailing.[3] Ketika Beliau sampai dihadapkan kepada pengadilan (Landrat) Belanda. Mungkin untuk menghindari kekisruhan lebih jauh dalam masyarakat. Beliau diminta pindah (sementara) ke Pematangsiantar.[3]
Kota Pematang Siantar
Pada tahun 1918 M, Syekh Abdul Hamid meninggalkan Huta Pungkut menuju Pematangsiantar (Timbang Galung), disana beliau tinggal dirumah Siti Salmah Lubis (kemenakan kandungnya) dan suaminya Bayo Batubara.[3] Belum ada kejelasan mengenai faktor penyebab Syekh Abdul Hamid meninggalkan Huta Pungkut.[3] Beliau meninggalkan Hutapungkut dan dimutasikan ke Pematangsiantar adalah atas pemufakatan keluarga dan kalangan kuria (adat).[6]
Saat berada Pematang Siantar, beliau pernah menjadi Qadhi di Timbang Galung.[3][7] Selama dua tahun dia mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat Batak Simalungun.[7]
Di kota ini pula beliau diberi kedudukan sebagai mufti dan tinggal bersama cucunya Adam Malik.[6] Beliau membesarkan Adam Malik (bekas Wakil Presiden RI dan Ketua Sidang Umum, PBB), menyekolahkannya ke Parabek (Bukittinggi) dan ke Langkat (Tanjungpura).[3] Dari Pematangsiantar itu, di masa Jepang Adam Malik ke Jakarta, bertugas sebagai wartawan.[3] Bergabung dengan Soekarno-Hatta yang sedang mempersiapkan kemerdekaan.[6]
Huta Pungkut
Syekh Abdul Hamid kembali ke Huta Pungkut pada tahun 1920 M, mengajar di Masjid Raya Kotanopan, di Tamiang, Muara Botung, Pakantan dan kampung lain di sekitar Mandailing.[3] Karena mobilitas dan tempat Beliau bertugas telah tersebar di sekitar Kotanopan, maka dalam mengunjungi tempat pengajian ini menggunakan mobil sedan kecil, yang waktu itu memang belum biasa digunakan Ulama lainnya.[3] Bahkan Beliau selalu berpakaian rapi kalau mengajar atau melaksanakan tablig, memakai baju tup putih dan jubah hitam atau merah, serta ikatan putih, seperti pakaian Ulama Mesir, penampilan serba “keren” ini menambah wibawa dan martabat Beliau.[3]
Beliau merasa lebih tenteram menetap di Hutapungkut dan membangun sebuah masjid berukuran 15x15 meter di halaman muka rumahnya, di masjid ini berdatangan murid-murid yang ingin menerima langsung pengajian Beliau.[3] Salah seorang muridnya, ND Pane saat mengajar di Meulaboh seketika dikirim oleh abangnya untuk menuntut ilmu kepada Syekh Abdul Hamid di Hutapungkut.[3]
Ia mendirikan masjid di Hutapungkut Julu yang ada pada masa pergerakan nasioanal.[3] Polisi kolonial selalu pula menggerebek tokoh pergerakan yang sedang melaksanakan rapat di sana.[3] Konon, ketika polisi Belanda ingin menangkap Syekh Abdul Hamid di masjid, namun tidak berhasil dan keluar dengan tangan hampa.[3] Padahal konon, Syekh Abdul Hamid hanya berdiri di belakang pintu masjid. Sejarah pergerakan kemerdekaan yang bermuara dalam perang kemerdekaan banyak dipersiapkan dari masjid ini.[3]
Murid-muridnya
Syekh Abdul Hamid mengajar di beberapa desa antara lain Kotanopan, Hutapungkut, Tamiang, Muara Botung dan sekitarnya, karena penguasaannya atas kitab Sabilal Muhtadin, ia digelar murid-muridnya Syekh sabilal, murid-muridnya datang dari Kotanopan sekitarnya.[1] Murid-murid Beliau yang telah dewasa kemudian membuka pengajian, banyak juga dikirim belajar ke perguruan di luar Hutapungkut dan kemudian memimpin dan mengajar secara berkelanjutan, terutama ilmu-ilmu agama yang didapatnya dari Syekh Abdul Hamid, baik dalam pengajian Alquran maupun pelajaran Fiqih.[3] Untuk menopang kehidupan sehari-sehari, Syekh Abdul Hamid juga bertani dan berkebun, murid-murid beliau juga berkhidmat membantu pekerjaan beliau sehari-hari.[3]
Diantara murid-murid beliau yang terkemuka adalah:
(1876 M - 1971 M)[9] - Syekh Mahmud Fauzi; Belajar langsung dengan Syeikh Hutapungkut selama tiga tahun, tahun 1910 Syekh Mahmud Fauzi berangkat ke Mekkah atas dorongan gurunya tersebut, banyak menulis buku namun sekarang ini sudah banyak yang hilang, diantaranya yang dapat dicatat adalah Buku Menuju Mekkah-Madinah-Baitul Maqdis, jabatan organisasi yang diembannya terakhir sebelum meninggal dunia adalah Rois Suriyah NU di Batang Toru;[10]
KH. Ahmad Nasution; Ketua NUSumatera Utara, penulis riwayat hidup Syekh Abdul Hamid (lihat Sejarah Ulama-Ulama Sumatera Utara, IAIN-Sumut 1975).[3]
Tempat-tempat pengajian ini kemudian mekar menjadi madrasah-madrasah, seperti:
(1927) - Makhtab Ihsaniah Hutapungkut dipimpin Syekh Mohd. Ali bin Basyir, (yang berasal dari Deli Tua, Kesultanan Deli).
(1928) - Madrasah Diniyah School di Botung, dengan gurunya Mohamad Arjun gelar Haji Fachruddin Arif, tamatan Tawalib Parabek,
(1928) - Madrasah Islamiyah di Manambin, dengan gurunya Ustadz Hasanuddin dari Langkat,
(1928) - Madrasah Subus Salam di Sayur Maincat Kotanopan, dengan gurunya H.Ilyas dari Delitua, (dari Kesultanan Deli).
(1929) - Madrasah Syariful Majlis, di Singengu Kotanopan dengan gurunya H.Nurdin Umar dari Kesultanan Langkat. Alumni madrasah ini banyak menjadi pemimpin masyarakat.
Berpulang ke-Rahmatullah
Syekh Abdul Hamid meninggal 21 Mei 1928 di Hutapungkut, tetapi murid-murid Beliau telah meneruskan perjuangan Beliau tidak hanya mengajar ilmu agama mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi turut serta di medan pertempuran pisik dan mengisi kemerdekaan itu. Inilah i’tibar kearifan bangsa dalam adagium “Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang,” daripada banyak orang mati hanya meninggalkan pusara tua. Amien.
Syekh Abdul Hamid meninggal 21 Mei 1928 di Hutapungkut. Saat perayaan hari raya Idul fitri, ratusan orang, para Kyai, Ustadz dan murid Beliau berziarah ke masjid Hutapungkut (Julu) untuk sekaligus berziarah ke makam Beliau di sisi masjid.[3]
^ abPelly 2015, Dalam tulisan yang berjudul Syekh Abdul Hamid Hutapungkut menyebutkan bahwa Syekh Abdul Kadir Mandily, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawy (Imam dan Khatib Masjidil Haram Makkah) adalah guru dari Syekh Abdul Hamid.
Lubis, Mirwan (2013-04-02). "Cendekiawan dari hutapungkut". Medan kreak. Diakses tanggal 2018-04-03.Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
Pelly, Usman (2015-09-23). "Syekh Abdul Hamid Hutapungkut". Waspada. Medan. hlm. Opini - B6. Diakses tanggal 2018-04-03.Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
Pelly, Usman (2017-06-16). "Ida Loemongga Nasution". Waspada. Medan. hlm. Opini - B4. Diakses tanggal 2018-04-03.Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)